Diantara
kemampuan dasar yang harus dimiliki terapis adalah Resistance. Resistance,
sebuah konsep yang fundamental dalam praktek terapi psikoanallitik adalah
sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan
yang tak disadari. Freud memandang resistensi sebagai dinamika tak sadar yang
digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa
dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan-dorongan
dan perasaan-perasaan yang direpresi itu. Hal ini akan menghambat konselor dan
klien memperoleh pemahaman dinamika ketidaksadaran klien. Jika terjadi
resistensi, konselor harus membangkitkan perhatian klien dan menafsirkan
resistensi yang paling terlihat untuk mengurangi kemungkinan klien menolak penafsiran.[1] Memperoleh wawasan (insight)
tidaklah mudah, karena masalah-masalah neurotik yang dialami pasien dapat
juga menimbulkan sikap resistance pasien terhadap proses terapeutik. Resistance
pasien ini dinyatakan dalam banyak cara, seperti: tidak menepati janji, menolak
interpretasi, dan banyak menghabiskan waktu untuk diskusi.[2]Cara Kerja:Sebagai
pertahanan terhadap kecemasan, resistensi bekerja secara khas dalam terapi
psikoanalitik dengan menghambat klien dan analisis dalam melaksanakan usaha
bersama untuk memperoleh pemahaman atas dinamika-dinamika ketaksadaran diri. Karena
resistensi ditujukan untuk mencegah bahan yang mengancam memasuki ke kesadaran,
analisis harus menunjukkannya dan klien harus menghadapinya jika dia
mengharapkan bisa menangani konflik-konflik secara realistis. Penafsiran analis
atas resistensi ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan
yang ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya. Sebagai aturan
umum, analis harus membangkitkan perhatian klien dan menafsirkan resistensi-resistensi
yang paling kentara guna mengurangi kemungkinan klien menolak penafsiran dan
guna memperbesar kesempatan bagi klien untuk mulai melihat tingkah laku
resistifnya.
Resistensi-resistensi bukanlah hanya sesuatu yang harus diatasi. Karena merupakan perwujudan dari pendekatan-pendekatan defensif klien yang biasa dalam kehidupan sehari-harinya, resistensi-resistensi harus dilihat sebagai alat bertahan terhadap kecemasan, tetapi menghambat kemampuan klien untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan.[3]Freud mendeskripsikan semua kekuatan berupa resistensi klien yang menentang upaya menemukan itu. Ia mengikhtisarkan lima macam resistensi:[4]1. Resistensi represi yang dideskrepsikan diatas;
2. Resistensi transferensi yang disebutkan berikut ini;
3. Resistensi untuk melepaskan keuntungan yang didapat dari keadaan sakitnya;
4. Resistensi id, yang mungkin menolak perubahan pada cara pemuasannya dan merasa perlu untuk “menelaah” medium pemuasan baru;
5. Resistensi, yang berasal dari superego, rasa bersalah atau kebutuhan akan hukuman yang tidak disadari yang menolak semua kesuksesan melalui analisis. Klien merasa dirinya harus tetap sakit karena mereka tidak pantas untuk membaik. Resistensi ini merupakan jeis resistensi yang paling kuat dan paling ditakutkan oleh analis.
Perjuangan mengatasi resistensi merupakan pekerjaan utama psikoanalisis dan bagian terpenting dari penanganan analitik. Padahal hal ini tidak dapat diwujudkan dengan mudah. Kekuatan yang membantu analis untuk mengatasi resistensi-resistensi klien adalah keinginannya untuk sembuh dari klien, minat klien terhadapapapun yang mungkin dimiliki pada saat proses analitik, dan yang paling penting adalah relasi positif klien dengan analisnya.
[1] Namora Lumongga Lubis. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana. 2011. Hal. 152.
[2] Syamsu Yusuf & Achmad Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008. Hal. 67.
[3] Gerald Corey. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. 2003. Hal. 43-44.
[4] Richard Nelson-Jones. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 62.
Resistensi-resistensi bukanlah hanya sesuatu yang harus diatasi. Karena merupakan perwujudan dari pendekatan-pendekatan defensif klien yang biasa dalam kehidupan sehari-harinya, resistensi-resistensi harus dilihat sebagai alat bertahan terhadap kecemasan, tetapi menghambat kemampuan klien untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan.[3]Freud mendeskripsikan semua kekuatan berupa resistensi klien yang menentang upaya menemukan itu. Ia mengikhtisarkan lima macam resistensi:[4]1. Resistensi represi yang dideskrepsikan diatas;
2. Resistensi transferensi yang disebutkan berikut ini;
3. Resistensi untuk melepaskan keuntungan yang didapat dari keadaan sakitnya;
4. Resistensi id, yang mungkin menolak perubahan pada cara pemuasannya dan merasa perlu untuk “menelaah” medium pemuasan baru;
5. Resistensi, yang berasal dari superego, rasa bersalah atau kebutuhan akan hukuman yang tidak disadari yang menolak semua kesuksesan melalui analisis. Klien merasa dirinya harus tetap sakit karena mereka tidak pantas untuk membaik. Resistensi ini merupakan jeis resistensi yang paling kuat dan paling ditakutkan oleh analis.
Perjuangan mengatasi resistensi merupakan pekerjaan utama psikoanalisis dan bagian terpenting dari penanganan analitik. Padahal hal ini tidak dapat diwujudkan dengan mudah. Kekuatan yang membantu analis untuk mengatasi resistensi-resistensi klien adalah keinginannya untuk sembuh dari klien, minat klien terhadapapapun yang mungkin dimiliki pada saat proses analitik, dan yang paling penting adalah relasi positif klien dengan analisnya.
[1] Namora Lumongga Lubis. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana. 2011. Hal. 152.
[2] Syamsu Yusuf & Achmad Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008. Hal. 67.
[3] Gerald Corey. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. 2003. Hal. 43-44.
[4] Richard Nelson-Jones. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar